KOTA
IRONI
Kota ini adalah
harapan. Bagi sesiapa yang menggantungkan asanya di sini. Mereka datang dari
kampung halaman untuk memperbaiki nasib, mencari penghidupan yang lebih baik.
Namun mereka lupa, bahwa kota ini kejam. Sebagaimana banyak peluang sukses,
juga ada banyak kemungkinan untuk semakin terpuruk. Mungkin salah satunya aku.
Aku di kota besar ini hanya berdua dengan Nina. Dia lah satu-satunya yang
kukenal dekat di sini. Diantara ratusan atau bahkan ribuan orang asing yang
sering kutemui. Atau tepatnya berapa banyakkah penduduk kota ini?
Kulihat ada tiga
kelompok masyarakat di sini. Yang pertama adalah mereka yang hidup serba
berkecukupan, mampu membeli apapun yang mereka butuhkan atau seringkali bahkan
yang sebenarnya tidak mereka butuhkan. Pakaian mereka rapih, dan ku pikir
modelnya terbaru. Aku tidak tahu pasti soal model busana, tapi yang jelas
sangat jauh berbeda dengan sepasang kain yang selalu aku dan Nina pakai.
Dan kelompok
yang kedua adalah mereka yang hidup dengan cukup, mungkin sesekali mereka
kekurangan uang untuk kebutuhan hidupnya, tapi mereka masih memiliki kehidupan
yang layak. Mereka punya atap yang melindungi dari derasnya hujan dan ganasnya
sinar matahari diwaktu siang. Dan anak-anak mereka bisa pergi ke sekolah. Ya,
sekolah. Aku senang sekolah, dan aku pernah sekolah. Walaupun setidaknya hanya
sampai di bangku kelas dua sekolah dasar. Tahun lalu tepatnya aku meninggalkan
bangku sekolah. Mau bagaimana lagi? Aku tidak punya pilihan. Kedua orangtua
kami sudah tiada satu setengah tahun silam, aku terpaksa putus sekolah karna
aku tak mampu membiayai sekolahku sendiri. Dan yang terpenting, kehidupan kami
terus berjalan. Kami harus memiliki sesuatu untuk dimakan, setidaknya Nina
tidak boleh kelaparan.
Aku lupa memberi
tahu seperti apakah kelompok terakhir dari masyarakat kota ini. Seperti aku. Ya,
Ada begitu banyak orang yang hidup serba kekurangan. Aku tidak tahu apa yang
salah dan aku tidak ingin dipusingkan dengan permasalahan yang aku sendiri tak
mengerti penyebabnya. Seperti beberapa orang yang lain, aku dan Nina
mengumpulkan kemasan air minum lalu kami jual kepada pengepul. Uangnya kami
belikan roti isi yang tepungnya tidak lembut dan cenderung keras, juga kami
pakai untuk membeli air minum.
Kami tak punya
sesiapa untuk bergantung, kami tak mengenal siapapun. Aku bahkan tidak tau
apakah aku memiliki paman dan bibi atau tidak, aku masih kecil saat
ditinggalkan oleh kedua orangtuaku, terlebih Nina. Jadi yang kulakukan saat ini
adalah memastikan bahwa ia akan tetap baik-baik saja, apapun caranya.
Ketika toko-toko
sudah mulai tutup, kami menggelar beberapa helai kardus sebagai alas tidur.
Tidak terlalu nyaman memang, tapi ini satu-satunya pilihan.
Musim penghujan
telah tiba, tidak ada yang lebih menyedihkan selain datangnya musim hujan.
Hujan membuat kami sulit mengumpulkan botol-botol dan menjadikan udara malam
semakin buruk. Malam ini, Nina kedinginan dan aku tidak bisa memberinya selimut
yang bisa membuatnya merasa lebih baik. Aku bertekad akan membelikannya sehelai
kain untuk menghadapi musim ini.
Siang dan malam
selalu dihadiahi hujan. Aku tidak bisa bekerja. Semalam, aku hanya bisa membeli
satu roti dan satu air minum. Kuberikan pada Nina, dia kelaparan. Lagi-lagi aku
tidak punya pilihan. Aku harus mencegah perutku dari rasa lapar, dengan cara
tidak memikirkan bahwa aku lapar. Aku berharap esok mentari akan hadir dan aku
bisa kembali mengumpulkan botol. Aku harus membelikan makanan untuk Nina dan
juga obat, ia mulai terserang flu karna cuaca ini.
“Kak, Nina
kedinginan”
“Kemarilah. Berikan
tanganmu, Nina.” Lalu aku menggosokkan kedua telapak tangannya agar kehangatan
itu datang.
“Besok, cuaca
akan lebih baik dan kakak akan bekerja untuk membelikanmu obat, roti dan
selimut ya. Tidak perlu khawatir, cuaca ini tidak akan bertahan selamanya,
Nina.”, Sambungku.
Sudah sembilan
hari hujan turun siang dan malam, tidak membiarkanku untuk mendapatkan lebih
banyak uang. Tidak tahu aku harus mengutuk siapa atas hal ini. Aku membutuhkan
uang lebih dari sebelumnya. Namun, aku tetap pergi mengumpulkan botol-botol,
tak peduli seberapa derasnya hujan mengguyur aku harus tetap bergerak.
Aku pergi ke
pengepul untuk menjual hasil pekerjaanku, dan uangnya hanya cukup untuk membeli
roti dan obat.
“Tidak apa.
Paling tidak Nina harus minum obat malam ini. Akan ku peluk ia kuat-kuat untuk
melindunginya dari udara dingin. Nina aku bawakan roti dan obat untukmu. Tunggu
aku”, ucapku dalam hati.
Asa ku hancur
dan perjuanganku sia-sia. Saat aku melihat Nina sudah membiru diatas kardus
kami. Tubuh mungilnya sudah tidak sanggup menahan dinginnya udara. Tak ada yang
bisa kulakukan selain meneteskan air mata. Apakah ini salahku? Karena aku tak
cukup cepat untuk membelikannya obat dan selimut? Oh Ninaku yang malang, tolong
maafkan aku.
Lalu aku duduk
disampingnya, dan aku makan roti isi ini untuknya. Agar ia tak merasa kelaparan
lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar