Minggu, 10 November 2019

Cerpen KOTA IRONI


KOTA IRONI

Kota ini adalah harapan. Bagi sesiapa yang menggantungkan asanya di sini. Mereka datang dari kampung halaman untuk memperbaiki nasib, mencari penghidupan yang lebih baik. Namun mereka lupa, bahwa kota ini kejam. Sebagaimana banyak peluang sukses, juga ada banyak kemungkinan untuk semakin terpuruk. Mungkin salah satunya aku. Aku di kota besar ini hanya berdua dengan Nina. Dia lah satu-satunya yang kukenal dekat di sini. Diantara ratusan atau bahkan ribuan orang asing yang sering kutemui. Atau tepatnya berapa banyakkah penduduk kota ini?
Kulihat ada tiga kelompok masyarakat di sini. Yang pertama adalah mereka yang hidup serba berkecukupan, mampu membeli apapun yang mereka butuhkan atau seringkali bahkan yang sebenarnya tidak mereka butuhkan. Pakaian mereka rapih, dan ku pikir modelnya terbaru. Aku tidak tahu pasti soal model busana, tapi yang jelas sangat jauh berbeda dengan sepasang kain yang selalu aku dan Nina pakai.
Dan kelompok yang kedua adalah mereka yang hidup dengan cukup, mungkin sesekali mereka kekurangan uang untuk kebutuhan hidupnya, tapi mereka masih memiliki kehidupan yang layak. Mereka punya atap yang melindungi dari derasnya hujan dan ganasnya sinar matahari diwaktu siang. Dan anak-anak mereka bisa pergi ke sekolah. Ya, sekolah. Aku senang sekolah, dan aku pernah sekolah. Walaupun setidaknya hanya sampai di bangku kelas dua sekolah dasar. Tahun lalu tepatnya aku meninggalkan bangku sekolah. Mau bagaimana lagi? Aku tidak punya pilihan. Kedua orangtua kami sudah tiada satu setengah tahun silam, aku terpaksa putus sekolah karna aku tak mampu membiayai sekolahku sendiri. Dan yang terpenting, kehidupan kami terus berjalan. Kami harus memiliki sesuatu untuk dimakan, setidaknya Nina tidak boleh kelaparan.
Aku lupa memberi tahu seperti apakah kelompok terakhir dari masyarakat kota ini. Seperti aku. Ya, Ada begitu banyak orang yang hidup serba kekurangan. Aku tidak tahu apa yang salah dan aku tidak ingin dipusingkan dengan permasalahan yang aku sendiri tak mengerti penyebabnya. Seperti beberapa orang yang lain, aku dan Nina mengumpulkan kemasan air minum lalu kami jual kepada pengepul. Uangnya kami belikan roti isi yang tepungnya tidak lembut dan cenderung keras, juga kami pakai untuk membeli air minum.
Kami tak punya sesiapa untuk bergantung, kami tak mengenal siapapun. Aku bahkan tidak tau apakah aku memiliki paman dan bibi atau tidak, aku masih kecil saat ditinggalkan oleh kedua orangtuaku, terlebih Nina. Jadi yang kulakukan saat ini adalah memastikan bahwa ia akan tetap baik-baik saja, apapun caranya.
Ketika toko-toko sudah mulai tutup, kami menggelar beberapa helai kardus sebagai alas tidur. Tidak terlalu nyaman memang, tapi ini satu-satunya pilihan.
Musim penghujan telah tiba, tidak ada yang lebih menyedihkan selain datangnya musim hujan. Hujan membuat kami sulit mengumpulkan botol-botol dan menjadikan udara malam semakin buruk. Malam ini, Nina kedinginan dan aku tidak bisa memberinya selimut yang bisa membuatnya merasa lebih baik. Aku bertekad akan membelikannya sehelai kain untuk menghadapi musim ini.
Siang dan malam selalu dihadiahi hujan. Aku tidak bisa bekerja. Semalam, aku hanya bisa membeli satu roti dan satu air minum. Kuberikan pada Nina, dia kelaparan. Lagi-lagi aku tidak punya pilihan. Aku harus mencegah perutku dari rasa lapar, dengan cara tidak memikirkan bahwa aku lapar. Aku berharap esok mentari akan hadir dan aku bisa kembali mengumpulkan botol. Aku harus membelikan makanan untuk Nina dan juga obat, ia mulai terserang flu karna cuaca ini.
“Kak, Nina kedinginan”
“Kemarilah. Berikan tanganmu, Nina.” Lalu aku menggosokkan kedua telapak tangannya agar kehangatan itu datang.
“Besok, cuaca akan lebih baik dan kakak akan bekerja untuk membelikanmu obat, roti dan selimut ya. Tidak perlu khawatir, cuaca ini tidak akan bertahan selamanya, Nina.”, Sambungku.

Sudah sembilan hari hujan turun siang dan malam, tidak membiarkanku untuk mendapatkan lebih banyak uang. Tidak tahu aku harus mengutuk siapa atas hal ini. Aku membutuhkan uang lebih dari sebelumnya. Namun, aku tetap pergi mengumpulkan botol-botol, tak peduli seberapa derasnya hujan mengguyur aku harus tetap bergerak.
Aku pergi ke pengepul untuk menjual hasil pekerjaanku, dan uangnya hanya cukup untuk membeli roti dan obat.
“Tidak apa. Paling tidak Nina harus minum obat malam ini. Akan ku peluk ia kuat-kuat untuk melindunginya dari udara dingin. Nina aku bawakan roti dan obat untukmu. Tunggu aku”, ucapku dalam hati.

Asa ku hancur dan perjuanganku sia-sia. Saat aku melihat Nina sudah membiru diatas kardus kami. Tubuh mungilnya sudah tidak sanggup menahan dinginnya udara. Tak ada yang bisa kulakukan selain meneteskan air mata. Apakah ini salahku? Karena aku tak cukup cepat untuk membelikannya obat dan selimut? Oh Ninaku yang malang, tolong maafkan aku.
Lalu aku duduk disampingnya, dan aku makan roti isi ini untuknya. Agar ia tak merasa kelaparan lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar