Minggu, 10 November 2019

Cerpan SEASONS IN THE SUN


            SEASONS IN THE SUN

Siapa yang peduli dengan seperti apa kehidupan berjalan dan seperti apa ia semestinya berjalan. Aku tidak melihat sesuatu sebagai benar atau salah, semua memiliki porsinya dan memiliki alasan mengapa terjadi. Aku berpikir seperti itu dalam hidup, tapi aku kesulitan untuk menyikapi kehidupanku.

Aku tidak bisa mempercayai siapapun, meskipun dengan orang-orang yang selalu disekitarku. Bagiku siapapun selain aku, adalah asing. Siapapun bisa mengkhianati siapapun, itu adalah kutipan salah satu buku favoritku.

Hidupku berjalan normal, setidaknya terlihat seperti itu.

Aku memiliki keluarga yang utuh, dan aku memiliki beberapa teman. Aku masih sekolah, tidak terlalu cemerlang memang nilai-nilaiku, tapi aku masih hidup. Tak ada yang bisa menyakitiku. Dan tidak akan kubiarkan siapapun melakukannya. Aku bukan siswa teladan, aku hanya suka belajar. Mempelajari hal-hal baru lalu mengaguminya. Aku cukup aktif di organisasi, tidak ada yang salah dari hidupku. Benar bukan?

Tapi mungkin cerita ini bisa membantu mereka yang mengalami hal serupa, aku tidak tahu berapa banyak orang yang bisa aku bantu melalui cerita ini. Tapi aku berharap semua ini membawa manfaat.

Kau tahu, kita tidak boleh memperlakukan orang lain dengan buruk. Mungkin dia tidak menunjukkan atau mengatakannya, tapi kita tidak pernah tahu bagaimana satu kata bisa bermakna bagi orang lain. Semua berjalan lancar sampai ada sekelompok orang yang terus mengkritik bagaimana aku berbicara, berpikir, bertindak, dan bagaimana aku menjalani kehidupanku. Mereka berhasil membuatku meyakini bahwa ada yang salah dari diriku. Tapi apa?

Kau tahu, media sosial tidak sepenuhnya membawa kebaikan. Ada begitu banyak orang yang bisa menyakiti orang lain hanya melalui media sosial, mereka melakukannya karena mereka tahu mereka tidak bertemu dengan orang tersebut secara langsung dan pada akhirnya mereka berpikir bahwa tidak masalah berbicara seperti itu.

Aku mencintai hidupku, walau banyak tetapi. Dunia adalah tempat kita berjuang, semua ini panggung sandiwara terbesar. Kita memiliki peranan masing-masing dan tidak bisa diwakili oleh orang lain. Begitupun saat kita berada di titik terendah, sisi tergelap dalam kehidupan.

Saat ini aku sedang duduk di salah satu bangku perpustakaan di sekolahku. Aku suka berada di sini. Sunyi, tenang, dan tak ada yang bisa menyakitiku. Aku sangat takut dengan rasa sakit, apapun bentuknya. Dan aku menyadari, bahwa kita tidak bisa menghindari satu rasa itu.

Semua baik-baik saja sampai kejadian itu menimpaku. Aku tidak tahu apa yang telah aku lakukan sampai aku pantas untuk mendapatkan perlakuan semacam itu. Maksudku, mereka tidak mengenalku dengan baik, begitupun aku. Lalu apa yang membuatku pantas menerimanya?

Mereka selalu menyalahkanku atas apapun yang terjadi, memandangku sebagai objek gagal dan pantas untuk dihakimi. Mereka menikmatinya, dan itu terasa lebih menyakitkan dibanding apapun. Perlahan tapi pasti, aku mulai kehilangan diriku. Aku mendengar ucapan mereka melebihi ucapanku sendiri. Aku mempercayai mereka lebih dari aku percaya pada diriku. Dan pada akhirnya akupun semakin terpuruk.

Aku tidak bisa menceritakan ini kepada siapapun, terlalu sulit dan memang tidak ada yang akan peduli. Aku semakin menarik diriku dari dunia, menikmati keberadaanku di tempat terjauh.

Hanya dengan waktu beberapa bulan dan sekali hantaman dahsyat, mereka mendapatkanku sepenuhnya. Lalu aku berpikir, untuk apa aku bertahan? Aku sudah memaafkan mereka namun luka yang terlanjur ada tidak semudah itu untuk sembuh. Lalu aku menjalani kehidupanku dengan penuh rasa takut.

Aku tidak ingin memberikan mereka rasa puas karna berhasil mencapai tujuannya dengan melihatku jatuh. Dan aku sembunyikan rapat-rapat semua ini dan bersikap bahwa aku baik-baik saja. Sandiwara ini berjalan lancar dan aku pikir akan terus begitu. Aku bahkan tidak tahu bahwa suatu saat semua ini bisa meledak. Siapa yang peduli? Semua berpikir tak ada yang salah dariku. “Manusia hanya perlu memiliki satu tujuan dan sebuah harapan untuk mempertahankan hidupnya. Dan temukanlah mereka.”

Begitulah ucapan salah satu teman dekatku. Bagiku tidak masalah jika kita sedang merasakan perasaan negatif. Tidak selamanya negatif itu buruk. Dan kita tidak bisa selamanya positif. Mengakui rasa sakit bukanlah suatu aib.

“Rasakanlah perasaanmu. Percaya pada diri sendiri melebihi siapapun. Kamu berarti. Kamu berharga.” Itu adalah sepenggal mantra yang selalu ku bisikkan saat demon datang.

Sampai kulihat orang-orang menyuarakan tentang pentingnya pengetahuan mengenai kesehatan mental. Membuatku berpikir, mungkinkah?

Lalu aku bertemu seseorang, aku tidak melihatnya sebagai seseorang yang akan berarti. Dia tak berbeda dengan orang lain, sama-sama asing bagiku. Dia mau mendengarkan lalu aku memberanikan diri untuk bercerita. Hematku, dia tidak begitu peduli dengan apa yang aku alami, tapi dia hanya senang aku bercerita. Namun, aku membuka kesempatan lebih besar dari yang aku bayangkan. Dan aku melihat diriku menemukan harapan itu.

Aku menghargai keberadaannya lebih dari yang pernah kupikirkan. Namun aku tidak mau dia tahu betapa berarti dia bagiku. Untuk apa? Itu hanya akan memberinya peluang untuk menyakitiku. Lalu aku membangun pertahanan, berjaga-jaga dari sesuatu yang tidak terpikirkan akan terjadi. Dia hanya akan menyakitiku. Dan kupikir akan sangat baik kalau aku tidak membiarkannya masuk terlalu dalam.

Semakin aku mencegahnya mendekat, semakin terbuka lebar peluang itu. Aku terjatuh bahkan tanpa benar-benar terjatuh. Dia memberiku harapan, memberiku alasan, keberanian dan yang terpenting dia bisa meyakinkanku bahwa dunia akan baik-baik saja. Energi yang ia bawa begitu positif, mungkin aku membutuhkannya. Atau mungkin tidak.

Namun yang ku tahu, dia begitu berarti tanpa tapi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar