Generasi muda dan kesehatan mental
- Setengah
dari penyakit mental bermula sejak remaja, yakni di usia 14 tahun. Menurut
WHO, banyak kasus yang tidak tertangani sehingga bunuh diri akibat depresi
menjadi penyebab kematian tertinggi pada anak muda usia 15-29 tahun.
- Merujuk data
hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, prevalensi penderita
skizofrenia atau psikosis sebesar 7 per 1000 dengan cakupan pengobatan
84,9%. Sementara itu, prevalensi gangguan mental emosional pada remaja
berumur lebih dari 15 tahun sebesar 9,8%. Angka ini meningkat dibandingkan
tahun 2013 yaitu sebesar 6%.
- Masih berdasarkan data Kementerian Kesehatan Indonesia, masyarakat perkotaan lebih rentan terkena depresi, alkoholisme, gangguan bipolar, skizofrenia, dan obsesif kompulsif. Meningkatnya jumlah pasien gangguan jiwa di Indonesia dan di seluruh dunia disebabkan oleh pesatnya pertumbuhan hidup manusia, serta meningkatnya beban hidup, terutama yang dialami oleh masyarakat urban.
Penderita
gangguan mental di Indonesia banyak yang menerima perlakuan diskriminatif dan
tidak manusiawi. Buruknya penanganan pada penderita gangguan kejiwaan di
Indonesia bahkan disoroti oleh badan Human Right Watch hingga menerbitkan
laporan sebagai bentuk teguran.
Penanganan yang salah sering terjadi. Masih banyak
orang-orang dalam masyarakat tradisional yang beranggapan bahwa gangguan
kejiwaan disebabkan oleh roh jahat, perbuatan dosa, tidak beriman, hingga
dikutuk. Alih-alih diberikan terapi pendekatan psikologi, para penderita
gangguan kejiwaan ini justru dibawa ke paranormal, lebih pahit lagi dikurung
dan dipasung.
Kesehatan Jiwa yang baik menurut Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia adalah kondisi ketika batin kita berada dalam keadaan
tentram dan tenang, sehingga memungkinkan kita untuk menikmati kehidupan
sehari-hari dan menghargai orang lain di sekitar.
Kita sering
mendengar ungkapan “sehat itu mahal”, pun berlaku dalam kesehatan mental. Kesehatan
mental sama pentingnya dengan kesahatan raga kita. Bahkan menurut data, 60%
orang-orang yang mengalami gangguan kesehatan mental tidak mencari bantuan yang
mereka butuhkan dan ini disebabkan karna stigma masyarakat yang buruk mengenai
gangguan kesehatan mental.
Media sosial dan kesehatan mental
Perkembangan
teknologi di era globalisasi memiliki pengaruh yang besar terhadap hidup
masyarakat dunia dalam berbagai aspek. Pengaruh tersebut salah satunya
berdampak pada perubahan kebiasaan manusia.
Departemen Pendidikan Inggris juga menemukan bahwa kesehatan
mental remaja perempuan semakin menurun, dengan media sosial sebagai salah satu
penyebabnya.
Hal ini diperparah dengan tingkat kepuasan publik yang rendah terhadap pelayanan kesehatan mental di negara tersebut. Semakin hari, semakin banyak orang meninggalkan praktisi kesehatan mental mereka karena merasa tidak mendapat dukungan yang dibutuhkan.
Hal ini diperparah dengan tingkat kepuasan publik yang rendah terhadap pelayanan kesehatan mental di negara tersebut. Semakin hari, semakin banyak orang meninggalkan praktisi kesehatan mental mereka karena merasa tidak mendapat dukungan yang dibutuhkan.
Dampak negatif dari
penggunaan media sosial
1.
Merasa harga diri berkurang
Di
media sosial, orang-orang cenderung menampilkan sisi terbaik dirinya atau
kehidupannya. Bea mengatakan, kecenderungan ini memberikan gambaran yang tidak
realistis terhadap kehidupan sesungguhnya dan membuat sebagian orang merasa
hidup mereka tidak begitu baik. Dari waktu ke waktu, membandingkan diri sendiri
dengan hidup orang lain secara terus-menerus bisa membuat seseorang merasa
harga dirinya berkurang.
2.
Kecemasan
Pola
media sosial memaksa sebagian orang untuk terus mengaksesnya, karena ingin
mengetahui hal-hal aktual. Sebab, mereka takut ketinggalan hal-hal baru.
Sejumlah studi menunjukkan, bahwa rasa takut melewatkan sesuatu -fear of
missing out (FOMO)- terkadang bisa meningkatkan rasa ketidakpuasan atau kecemasan.
3.
Gangguan tidur
Para
peneliti dari University of Pittsburg memelajari perilaku bermedia sosial dari
1.700 orang dewasa berusia 19 hingga 32 tahun. Mereka menemukan, bahwa
partisipan yang menggunakan media sosial lebih sering memiliki risiko sulit
tidur tiga kali lebih besar daripada yang lainnya. Kurang tidur juga bisa
menyebabkan banyak masalah, seperti pengambilan keputusan yang tidak bijak,
kecemasan, depresi, dan menurunnya kualitas kesehatan secara umum.
4.
Menimbulkan rasa cemburu
Ketika
salah satu teman kita di media sosial mengunggah foto liburan yang
menyenangkan, terkadang kita merasa sedikit cemburu atau iri dengan kondisi
tersebut. Perasaan ini bisa bervariasi, mulai dari amarah hingga penghinaan,
terkadang juga memicu menurunnya percaya diri dan harga diri. Kita mungkin
merasa hidup kita tidak layak dibandingkan, namun ingatlah bahwa apa yang kita
lihat hanya sisi baik dari orang tersebut. Sebab, setiap orang cenderung akan
menghindari mengunggah hal-hal buruk terkait hidup mereka di media sosial.
5.
Membuat perilaku buruk terlihat
keren
Media
sosial terkadang bisa membuat perilaku-perilaku negatif, seperti menggunakan
obat-obatan, alkohol, dan perilaku sembrono, terlihat seolah keren dan menarik.
Risiko ini lebih tinggi pada anak-anak muda, karena bisa berdampak pada
prefrontal korteks, yaitu bagian depan otak yang berkaitan dengan pengambilan
keputusan. Bagian otak tersebut belum terbentuk dengan sempurna hingga usia
mencapai 25 tahun. Melihat hal-hal tersebut dari media sosial membuat mereka berisiko
tertarik atau bahkan mengikuti perilaku buruk yang dilihatnya dari lini masa.
Dengan
adanya lima risiko kesehatan mental tersebut, ada baiknya kita berupaya
membatasi diri dari penggunaan media sosial berlebihan.
Jika
kita merasa dampak negatif penggunaan media sosial lebih besar daripada dampak
positif yang kita dapat atau merasa tidak bisa membatasinya, berhenti mengakses
media sosial mungkin merupakan cara terbaik. Kita juga bisa lebih memilih
menghabiskan waktu bersama teman dan keluarga daripada media sosial. Seperti
ngobrol, jalan bersama atau hanya duduk dan ngobrol. Itu semua akan lebih baik
untuk kesehatan mental kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar