Jumat, 11 Oktober 2019

Artikel 2


Generasi muda dan kesehatan mental




  1. Setengah dari penyakit mental bermula sejak remaja, yakni di usia 14 tahun. Menurut WHO, banyak kasus yang tidak tertangani sehingga bunuh diri akibat depresi menjadi penyebab kematian tertinggi pada anak muda usia 15-29 tahun. 
  2. Merujuk data hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, prevalensi penderita skizofrenia atau psikosis sebesar 7 per 1000 dengan cakupan pengobatan 84,9%. Sementara itu, prevalensi gangguan mental emosional pada remaja berumur lebih dari 15 tahun sebesar 9,8%. Angka ini meningkat dibandingkan tahun 2013 yaitu sebesar 6%.
  3. Masih berdasarkan data Kementerian Kesehatan Indonesia, masyarakat perkotaan lebih rentan terkena depresi, alkoholisme, gangguan bipolar, skizofrenia, dan obsesif kompulsif. Meningkatnya jumlah pasien gangguan jiwa di Indonesia dan di seluruh dunia disebabkan oleh pesatnya pertumbuhan hidup manusia, serta meningkatnya beban hidup, terutama yang dialami oleh masyarakat urban.
Gangguan mental, karena gejalanya tidak seperti penyakit fisik, acapkali terlambat disadari. Padahal di Indonesia, jumlah penderitanya terbilang tidak sedikit. Kesehatan mental masih menjadi anak tiri, masih dianggap remeh, sehingga tidak heran bila banyak orang yang memiliki masalah dengan kesehatan mentalnya diabaikan. Masyarakat Indonesia masih memberi stigma yang buruk terhadap isu-isu kesehatan mental. 
Penderita gangguan mental di Indonesia banyak yang menerima perlakuan diskriminatif dan tidak manusiawi. Buruknya penanganan pada penderita gangguan kejiwaan di Indonesia bahkan disoroti oleh badan Human Right Watch hingga menerbitkan laporan sebagai bentuk teguran.
Penanganan yang salah sering terjadi. Masih banyak orang-orang dalam masyarakat tradisional yang beranggapan bahwa gangguan kejiwaan disebabkan oleh roh jahat, perbuatan dosa, tidak beriman, hingga dikutuk. Alih-alih diberikan terapi pendekatan psikologi, para penderita gangguan kejiwaan ini justru dibawa ke paranormal, lebih pahit lagi dikurung dan dipasung. 




Kesehatan Jiwa yang baik menurut Kementrian Kesehatan Republik Indonesia adalah kondisi ketika batin kita berada dalam keadaan tentram dan tenang, sehingga memungkinkan kita untuk menikmati kehidupan sehari-hari dan menghargai orang lain di sekitar.
Kita sering mendengar ungkapan “sehat itu mahal”, pun berlaku dalam kesehatan mental. Kesehatan mental sama pentingnya dengan kesahatan raga kita. Bahkan menurut data, 60% orang-orang yang mengalami gangguan kesehatan mental tidak mencari bantuan yang mereka butuhkan dan ini disebabkan karna stigma masyarakat yang buruk mengenai gangguan kesehatan mental.

Media sosial dan kesehatan mental

Perkembangan teknologi di era globalisasi memiliki pengaruh yang besar terhadap hidup masyarakat dunia dalam berbagai aspek. Pengaruh tersebut salah satunya berdampak pada perubahan kebiasaan manusia.

Departemen Pendidikan Inggris juga menemukan bahwa kesehatan mental remaja perempuan semakin menurun, dengan media sosial sebagai salah satu penyebabnya.

Hal ini diperparah dengan tingkat kepuasan publik yang rendah terhadap pelayanan kesehatan mental di negara tersebut. Semakin hari, semakin banyak orang meninggalkan praktisi kesehatan mental mereka karena merasa tidak mendapat dukungan yang dibutuhkan.
 Dampak negatif dari penggunaan media sosial
1.      Merasa harga diri berkurang
Di media sosial, orang-orang cenderung menampilkan sisi terbaik dirinya atau kehidupannya. Bea mengatakan, kecenderungan ini memberikan gambaran yang tidak realistis terhadap kehidupan sesungguhnya dan membuat sebagian orang merasa hidup mereka tidak begitu baik. Dari waktu ke waktu, membandingkan diri sendiri dengan hidup orang lain secara terus-menerus bisa membuat seseorang merasa harga dirinya berkurang.
2.      Kecemasan
Pola media sosial memaksa sebagian orang untuk terus mengaksesnya, karena ingin mengetahui hal-hal aktual. Sebab, mereka takut ketinggalan hal-hal baru. Sejumlah studi menunjukkan, bahwa rasa takut melewatkan sesuatu -fear of missing out (FOMO)- terkadang bisa meningkatkan rasa ketidakpuasan atau kecemasan.
3.      Gangguan tidur
Para peneliti dari University of Pittsburg memelajari perilaku bermedia sosial dari 1.700 orang dewasa berusia 19 hingga 32 tahun. Mereka menemukan, bahwa partisipan yang menggunakan media sosial lebih sering memiliki risiko sulit tidur tiga kali lebih besar daripada yang lainnya. Kurang tidur juga bisa menyebabkan banyak masalah, seperti pengambilan keputusan yang tidak bijak, kecemasan, depresi, dan menurunnya kualitas kesehatan secara umum.
4.      Menimbulkan rasa cemburu
Ketika salah satu teman kita di media sosial mengunggah foto liburan yang menyenangkan, terkadang kita merasa sedikit cemburu atau iri dengan kondisi tersebut. Perasaan ini bisa bervariasi, mulai dari amarah hingga penghinaan, terkadang juga memicu menurunnya percaya diri dan harga diri. Kita mungkin merasa hidup kita tidak layak dibandingkan, namun ingatlah bahwa apa yang kita lihat hanya sisi baik dari orang tersebut. Sebab, setiap orang cenderung akan menghindari mengunggah hal-hal buruk terkait hidup mereka di media sosial.
5.      Membuat perilaku buruk terlihat keren
Media sosial terkadang bisa membuat perilaku-perilaku negatif, seperti menggunakan obat-obatan, alkohol, dan perilaku sembrono, terlihat seolah keren dan menarik. Risiko ini lebih tinggi pada anak-anak muda, karena bisa berdampak pada prefrontal korteks, yaitu bagian depan otak yang berkaitan dengan pengambilan keputusan. Bagian otak tersebut belum terbentuk dengan sempurna hingga usia mencapai 25 tahun. Melihat hal-hal tersebut dari media sosial membuat mereka berisiko tertarik atau bahkan mengikuti perilaku buruk yang dilihatnya dari lini masa.

Dengan adanya lima risiko kesehatan mental tersebut, ada baiknya kita berupaya membatasi diri dari penggunaan media sosial berlebihan.


 Memutus siklus tersebut sangatlah sulit. Mungkin akan lebih bijak jika kita memiliki jadwal dalam mengakses media sosial. Misalnya, hanya mengeceknya pada interval waktu tertentu dan berapa kali dalam sehari.
Jika kita merasa dampak negatif penggunaan media sosial lebih besar daripada dampak positif yang kita dapat atau merasa tidak bisa membatasinya, berhenti mengakses media sosial mungkin merupakan cara terbaik. Kita juga bisa lebih memilih menghabiskan waktu bersama teman dan keluarga daripada media sosial. Seperti ngobrol, jalan bersama atau hanya duduk dan ngobrol. Itu semua akan lebih baik untuk kesehatan mental kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar